Perlindungan Guru
“Plak!” Tamparan pak Romi, orangtua Tio kepada pak guru
Disman terdengar hingga di luar kelas. “Tak becus kau jadi guru!”, begitu
umpatan wali murid tak tahu sopan santun itu. Belakangan ini,
berita orangtua murid berani menampar, merendahkan, hingga mempolisikan guru sering kita dengar. Seakan ada pembenaran ketika
guru melakukan tindakan yang tidak berkenan di hati wali murid, mereka
berhak menyeret guru ke ranah hukum, karena semua
warga sama di depan hukum. Guru memang warga Indonesia yang mempunyai hak dan kewajiban yang sama seperti warga negara
lainnya. Guru juga membayar pajak. Guru juga wajib memiliki SIM, NPWP, KK,
dan alat administrasi lainnya. Guru pun kalau melanggar lalu lintas
ditilang. Jadi, apa salahnya kalau guru menghukum siswa, lalu orangtuanya
memperkarakannya? Begitulah antara lain dalih orangtua murid yang tidak mampu
dan mau menghargai profesi seorang guru.
Saya sangat bersyukur, walaupun
saya mengajar di pedesaan dan jauh dari tempat tinggal, namun di sekolah saya, hubungan orangtua dan guru
aman-aman saja. Orangtua memposisikan guru sebagai pekerjaan mulia. Guru harus
dihormati dan dipatuhi. Ketika ada siswa yang melanggar
atau tidak sopan kepada guru, justru orangtualah yang ikut memarahi siswa. Orangtua mendukung program-program sekolah bahkan tanpa
bertanya tentang program apakah itu. Walaupun begitu, ada beberapa
orangtua yang peduli kritik dan protes. Ketika orangtua siswa
protes/kritik, maka akan terdengar heboh. Nampak berapi-api, seperti orang sedang demo. Padahal tidak. Itu adalah logat bahasa daerah
di tempat mengajar saya, yang nampak “ngotot” kalau sedang berbicara, bahkan
dalam kondisi normal.
Sejak UU Sistem Pendidikan Nasional dikeluarkan pada
tahun 2003, guru dan tenaga kependidikan lainnya
sudah mendapat perlindungan. Tentang perlindungan guru dapat dilihat pada aturan-aturan berikut ini:
a. Pasal 40 ayat (1) UU No 20/2003 tentang Sisdiknas
b. Pasal 39 ayat (1) UU No 14/2005 tentang guru dan
dosen
c. Pasal 40 ayat (1) dan pasal 42 PP No 74/2008 tentang
guru
d. PP No 17/2010 tentang pengelolaan dan penyelenggaran
pendidikan
e. Permen No 10/2017 tentang perlindungan bagi pendidik
dan tenaga kependidikan
Dalam Permen No 10/2017 tersebut, disebutkan bahwa
perlindungan merupakan upaya melindungi Pendidik dan Tenaga Kependidikan yang
menghadapi permasalahan terkait pelaksanaan tugas. Perlindungan yang dimaksud
meliputi perlindungan hukum, profesi, keselamatan dan
kesehatan kerja, dan/atau hak atas kekayaan intelektual. Jika polisi yang sedang bertugas menembak perampok yang mengancam nyawa banyak
orang itu tidak dilindungi oleh peraturan, maka polisi bisa
dipenjarakan oleh keluarga perampok dengan dalih seperti yang
dikatakan di atas, bahwa semua warga sama di depan hukum, entah dalam melaksanakan tugas/tidak. Demikian juga dengan guru. Guru memiliki kode etik dalam mengajar. Guru itu bukan pembantu,
dan orang tua itu bukan majikan yang menitipkan anaknya pada guru. Guru
memiliki tugas mulia yang lebih dari seorang pembantu.
Guru memiliki kewajiban membentuk dan menanamkan karakter sejak dini. Dalam menjalankan tugasnya ini, guru akan melakukan
tindakan yang sesuai dengan kompetensi keprofesiannya sebagai seorang
pendidik. Guru syah saja memberikan tugas kepada siswa. Guru
juga berhak memberi punishment pada siswanya yang melanggar aturan. Ketika ada kasus siswa tidak mau mengerjakan tugas atau
siswa tidak patuh pada aturan sekolah (berambut gondrong misalnya), maka guru
melakukan tindakan peringatan atau punishment
kepada siswa tersebut adalah sesuatu yang wajar selama peringatan dan punishment
yang diberikan tidak berlebihan. Orangtua siswa tak perlu terlalu risau dan lebay jika anaknya memang bersalah, biarkanlah ia belajar
mempertanggungjawabkan kesalahan yang dibuatnya. Sangat
norak rasanya, hanya sebab siswa dicukur rambutnya, lantas guru yang mencukur dipolisikan. Sangat tidak adil juga ketika siswa
yang melanggar dihukum oleh guru, lalu orangtuanya membalas dendam dengan
menghukum gurunya. Jika mata rantai ketidakpuasan
diselesaikan dengan egoisme dan aroganisme, serta budaya premanisme diperlakukan buat guru, bagaimana guru bisa mengajar dengan
tenang? Bagaimana siswa akan memperoleh nilai budi pekerti luhur kalau orangtua
menganggap guru adalah musuh/lawan yang harus diwaspadai? Bisa jadi siswa akan
menganggap rendah derajat guru.
Dalam membangun sebuah sistem pendidikan, guru adalah
pelaku utama. Namun, sistem pendidikan melibatkan peran banyak aspek. Tanpa
dukungan, pengertian, dan rasa aman yang diberikan baik
oleh Pemerintah, masyarakat dan wali murid, niscaya tugas profesi guru akan berada dalam bayang-bayang hitam yang menyeramkan. Untuk
itu, sekolah sebaiknya mensosialisasikan aturan-aturan Pemerintah
tersebut, dan membangun budaya aman dan nyaman selama
proses pendidikan berlangsung. Jika guru merasa aman dalam mengajar, maka siswa akan nyaman memperoleh ilmunya, dan orangtua
senang dan puas karena anak mereka menjadi insan yang berbudi dan
cerdas. Budaya seperti inilah yang harus kita bangun bersama.
Komentar
Posting Komentar