Melihat Pelaksanaan Full Day School
Melihat Pelaksanaan Full Day School
Penerapan Full Day School (FDS) sudah dimulai sejak awal semester 2 tahun pelajaran 2016/2017, terutama bagi sekolah menengah pertama dan atas. Semester 2 sudah berjalan beberapa bulan, FDS still ongoing. Dari awal wacana FDS dihembuskan oleh Menteri Pendidikan, FDS sudah menjadi bahan pembicaraan. Banyak pro kontra, namun FDS tetap dilaksanakan. Jika yang menjadi indikator keberhasilan FDS adalah sekolah swasta, maka sekolah swasta memang sudah terbukti mampu melaksanakan FDS. Mereka sudah menerapkan FDS jauh hari sebelum FDS diresmikan untuk sekolah negeri. Tentu saja sekolah swasta berbeda dengan sekolah negeri.
Terlepas dari itu semua, tidak bisa dipungkiri kalau FDS memberikan manfaat dan juga beberapa ganjalan baik bagi guru, siswa maupun orangtua. FDS bukan berarti seharian penuh siswa dan guru berada di sekolah dari jam 07.00 hingga 17.00, seperti yang beredar di media sosial di awal-awal wacana FDS. Namun, pelaksanaan FDS ini, menerapkan jam pelajaran seperti biasa hingga setengah hari, dan setelahnya adalah kegiatan ekstrakurikuler untuk pembinaan karakter. Siswa yang terbiasa mengikuti ekstrakurikuler akan terbiasa, dan no problem dengan FDS ini. Mereka biasa pulang sore di saat mengikuti ekskul. Namun bagi siswa yang anteng, mereka harus menyesuaikan diri menghadapi jam-jam tambahan yang melelahkan.
Ada banyak sisi positi yang bisa diambil dari FDS ini. Salah satunya, siswa bisa dikondisikan untuk sholat jamaah di mushola/masjid sekolah. Siswa juga dianjurkan ikut sholat Dhuha bersama. Selepas itu, kegiatan makan siang bersama bisa dijadikan tren baru di lingkungan sekolah. Sisi positif yang lain, yakni, siswa terawasi hingga jam pulang. Ketika mereka pulang, mereka sudah merasa lelah, sehingga memilih beristirahat daripada melakukan suatu tindakan yang tidak bermanfaat. Mereka bisa beristirahat atau membaca materi di sekolah karena LKS sudah ditiadakan. Hari Sabtu yang (kadang) digunakan untuk tawuran, karena diliburkan, maka pengawasan sudah berada pada orangtua masing-masing.
Walaupun begitu, pelaksanaan FDS ini nampak terasa berat bagi siswa. Siang hari,mereka bersusah payah menahan kantuk, apalagi yang terbiasa tidur siang. Di awal pekan, tenaga dan stamina masih cukup fress, namun di akhir pekan, tersirat kelelahan. Dampak lainnya yaitu, siswa membutuhkan uang saku tambahan atau bekal makanan tambahan. Jika ibunya tidak bekerja, maka siswa membawa makanan dari rumah. Namun, siswa yang orangtuanya sibuk, hanya diberi uang saku tambahan. Kalau guru dan orangtua tidak mengontrol, maka siswa akan terbiasa dengan jajan yang berlebih. Yang memprihatinkan, siswa yang orangtuanya kurang mampu, maka uang saku maupun bekal makanan, tidak ada perubahan. Untuk itu, jika ada pembiasaan makan siang bersama saat FDS ini, guru bisa melatih empati siswa melalui kegiatan saling berbagi makanan.
Pelaksana utama dalam FDS adalah guru. Bagi guru, seharusnya FDS tidak menjadi beban. Sebelum FDS berlangsung, guru terbiasa pulang belakangan. Guru terbiasa menyelesaikan administrasi terlebih dahulu. Guru bahkan lembur sesekali jika ada event tertentu. Pelaksanaan FDS ini, nampaknya bukan sesuatu yang luar biasa bagi guru. Namun, tetap saja, dampak dari FDS ini terasa. Seperti siswa, maka guru juga bisa menambah jam sholat berjamaah di masjid/mushola sekolah di waktu Dhuha dan Dhuhur. Kebiaaan makan bersama, sering dilakukan oleh guru, dan kuantitas makanan pun ikut bertambah. Guru bisa mengondisikan untuk bisa makan bersama antar guru atau bergabung bersama siswa. Selain itu, guru mempunyai waktu lebih untuk mengenali siswanya melalui kegiatan ekskul. Guru bisa menjembatani siswa untuk menemukan minat dan bakat mereka melalui kegiatan ekskul, sehingga ketika keluar sekolah, mereka bisa menemukan bakat/minat/pekerjaan/tempat kuliah yang sesuai.
FDS dilaksanakan bagi SMP/sederajat dan SMA/sederajat. Di beberapa kota, pelaksaan FDS bagi siswa SD masih diperdebatkan. Ada yang berpendapat, siswa SD belum perlu FDS. Ada yang kasihan, karena menimbulkan stress dan capek yang berlebihan. Bahkan yang lebih lebay, ada yang bilang, kalau FDS bagi siswa SD terlalu sadis. Di beberapa kota, FDS juga dikaji ulang, karena sebagian besar siswa SD mengikuti sekolah tambahan di sekolah agama (DTA) selepas sekolah regular. Ijazah DTA ini digunakan sebagai salah satu syarat masuk ke SMP. Berbeda pula dengan siswa SMP dan SMA/SMK, siswa SD biasa bersekolah di sekolah dalam radius 1-2 km saja. sehingga pengawasan keluarga dan lingkungan masih cukup bagus. Mereka pun belum terkontaminasi dengan budaya tawuran ABG. Sedangkan bagi beberapa ibu guru, managemen keluarga akan menjadi kalang kabut kalau FDS dilaksanakan, terutama bagi keluarga yang tidak punya asisten keluarga, dan memiliki anak yang masih kecil.
Apakah FDS ini akan tetap berlangsung dan dilanjutkan? Tentu Pemerintah akan selalu memberikan kebijakan yang membangun siswa Indonesia ke arah yang lebih baik. Tugas guru adalah memberikan pelayanan yang terbaik yaitu pelayanan dalam mencetak generasi-generasi emas Indonesia.
Komentar
Posting Komentar